14042014
Hari itu, aku
kehilangan seorang sahabat. Satu-satunya sahabat yang selalu bersamaku sejak
bertahun-tahun lalu. Dia pergi, untuk selama-lamanya. Kecelakaan naas itu telah
berhasil merenggut nyawanya. Ya, dia pergi. Dan tak akan pernah kembali.
Namanya Astria
Alfiani. Kami memanggilnya Astri. Dia sepupuku dan lebih muda 4 tahun dariku.
Entah kenapa, meski kami berbeda usia cukup jauh, ia selalu ingin mengikutiku.
Rumah kami memang tak berdekatan. Tapi juga tak terlalu berjauhan. Sewaktu
masih SD, ia kerap kali mengikutiku ketika aku hendak bermain ke rumah teman.
Aku bahkan merasa risih sehingga aku pergi diam-diam bahkan berlari untuk
menghindarinya. Tapi dasar bocah itu keras kepala. Dia tetap saja mengikutiku.
Dulu, ketika aku
masih tinggal di rumah nenekku, meskipun aku sudah SMP dan dia masih SD, dia
tetap mengikutiku. Ia juga sering menginap di rumah kami. Aku juga heran,
sebenarnya apa yang membuatnya selalu mengikutiku? Apa karena dia tidak punya
teman? Mungkin itu benar. Jadi, ku biarkan saja dia terus mengikutiku.
Meski kita tak
bertemu setiap hari karena berbeda sekolah, namun setiap akhir pekan dia selalu
main ke rumahku. Kami menonton TV bersama. Dia paling senang menceritakan
tentang teman-temannya di sekolah. Waktu SD, dia bahkan aktif di kegiatan
Pramuka. Ya, meskipun badannya besar, pada dasarnya ia memang suka jika punya
banyak teman.
Saat SMA, aku
memutuskan untuk masuk Boarding School.
Meski demikian, sekolah itu tak terlalu ketas seperti sekolah asrama pada
umumnya. Jadi, aku masih bisa leluasa mencuri waktu pulang ke rumah setiap
akhir pekan. Apalagi di sekolahku, hari Sabtu itu hari bebas alias libur. Jadi
aku bisa santai pulang ke rumah karena sekolahku masih terletak satu kota
dengan kampungku.
Gadis itu sudah
beranjak remaja. Ia sudah SMP. Entah darimana dia tahu kalau aku selalu pulang
ke rumah setiap akhir pekan, tapi dia selalu datang untuk menemani waktu
liburku. Aku juga tak tahu kenapa, sejak SMP, pergaulanku dengan teman sekitar
rumahku seperti terbatas. Sehingga mau tak mau aku selalu di rumah dan dia lah
yang menemaniku.
Aku yang awalnya
risih dengan kehadirannya mulai membuka diri. Kami berdua saling berbagi hal.
Kami suka nonton FTV, aku juga cerita kalau aku suka nulis dan musik. Dan dia
juga suka. Ku fikir itu karena dia terus mengikutiku, karena itu ia menyukai
hal yang sama denganku. Kami juga suka membahas hal yang lagi ngetrend saat
ini. Termasuk drama Korea yang saat itu tengah booming di Indonesia. Dia sangat suka drama My Princess. Dia juga
suka Yoon Si Yoon dalam drama Kim Tak Gu. Dia juga suka drama Boys Before
Flowers terutama sama Kim Hyun Joong. Dia juga suka Song Sam Dong aka Kim Soo
Hyun di drama Dream High.
Aku yang
mengenalkan semua itu padanya. Aku juga mengenalkannya pada internet. Kami
sering pergi ke warnet dan dia memintaku membuatkan facebook untuknya. Dan aku
membuatkannya. Aku juga mengenalkannya pada Super Junior, boyband favoritku.
Saat aku bilang aku suka Kyuhyun, dia juga langsung suka Kyuhyun. Tapi saat aku
bilang aku suka Donghae dan Yesung, dia tetap suka Kyuhyun. Aku bilang ganteng
juga Yesung. Tapi dia bilang tetep Kyuhyun. Satu yang ku tahu, dia itu ternyata
ngeyel juga.
Lulus SMP, dia
tidak melanjutkan sekolah dan langsung bekerja di pasar. Meski demikian, kami
tetap tidak kehilangan kontak. Setiap dia libur, kami jalan-jalan. Entah ke
Yogya, Pasar, atau berkeliling-keliling nyari kaset drama Korea terbaru. Kami
selalu berjalan kaki. Karena saudaraku itu mabok-an kalo naik mobil. Sebenernya
aku juga sih. Tapi aku tak separah dia. Karena itu dia tidak pernah mau di ajak
jalan-jalan naik mobil. Sebelum dia meninggal, aku pernah berencana akan
mengajaknya jalan-jalan naik mobil bersama keluargaku ke Tegal Gubuk untuk
membeli baju raya tahun ini. Sayangnya, hal itu sudah tak akan mungkin terjadi.
Ada hal lain
yang selalu membekas di hatiku. Meskipun dia bekerja, setiap ada kesempatan,
saat senja yang berwarna kelabu berubah menjadi ungu, dia datang ke rumahku.
Masuk ke kamarku dan berbincang-bincang. Wah, badannya semakin terlihat besar
saja. Seperti biasa aku menceritakan segala macam tentang idolaku, Super
Junior. Aku juga menceritakan tentang hobbi nulisku yang kini kembali kutekuni.
Dan seperti biasa juga, dia selalu meminjam buku dan majalah baru koleksiku. Ia
juga suka menulis. Tapi aku belum pernah melihat tulisannya. Ia agak tertutup
soal itu.
Oia, gadis ini,
waktu SMP dia pernah bilang suka sama seseorang yang dia sebut sebagai Mr.S.
Aku tak pernah tahu seperti apa lelaki itu. Tapi gadis penyuka cerita roman itu
masih menyukainya bahkan setelah lulus sekolah. Tapi beberapa Minggu sebelum
kepergiannya, dia menunjukkan bahwa ia tengah pacaran. Mungkin dengan teman
kerjanya. Meski dia tak menyebutkan secara langsung, aku tahu. Bahwa ia tengah
bahagia.
Sebelum tragedi
itu terjadi, entah kenapa, dia yang biasanya selalu main ke rumahku untuk
meminjam buku atau sekedar mengembalikkan bukuku, tak juga datang. Aku sudah
ingin mengirimkan sms padanya, namun lagi-lagi aku urung melakukannya. Hingga
di suatu Sabtu sore, kakaknya datang dan mengabarkan kalau dia kecelakaan. Aku
kaget. Langsung saja aku di antar adikku ke rumah sakit tempatnya di rawat.
Entah kenapa rasa
cemas itu tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Aku merasa pusing dan enggan
untuk menahan air mata ini agar tak jatuh. Saat itu dia masih sadar dan berada
di IGD. Ku dengar, motor yang ia tumpangi di tabrak angkot saat sedang turun
hujan. Supir angkot itu langsung kabur. Sementara si pengendara motor yang
belakangan ku ketahui adalah pacar saudaraku itu, langsung meninggal sesaat setelah
di bawa ke rumah sakit.
Sungguh malang
nasib gadis ini. Dia. Yang ku tahu selalu menanti kedatangan cinta. Seseorang
yang percaya akan datangnya cinta sejati, dan akhirnya ketika cinta itu
benar-benar datang, ia justru menjemput dan mengantarkannya ke tempat
peristirahatan terakhir…
Dia masih
bernafas. Aku dan keluarganya masuk ke ruang IGD. Tempat yang baru pertama kali
ku kunjungi. Ibu dan kakaknya langsung menangis histeris saat melihat
keadaannya, sehingga mereka langsung di tarik keluar. Sementara aku hanya
berdiri shock. Perlahan aku mendekati
tubuhnya. Wajahnya telah di jahit dan kepalanya masih di perban. Aku melihat
hasil scan dan ternyata tulang pundak
kanannya remuk. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kenapa bisa semua ini terjadi
padanya? Meski ia tak sadar, namun tangan kiri dan kakinya terus berontak
seolah menahan sakit. Sehingga perawat terpaksa mengikat tangannya di ranjang.
Malam itu ia
akan di bawa ke rumah sakit lain untuk di scan
ulang. Hanya tiga orang yang boleh ikut mengantar. Dan aku tidak termasuk.
Aku dan yang lainnya lalu pulang. Tak henti aku berdo’a untuknya. Aku tidak
bisa tidur sehingga aku memutuskan untuk bermain laptop. Namun, saat waktu
telah mendekati jam 12 malam, aku mendapatkan sms bahwa dia kritis. Aku panik.
Aku langsung membangunkan orang tuaku dan meminta mereka mengantarkanku ke
rumah sakit. Sungguh saat itu aku benar-benar panik dan tak tahu harus berbuat
apa. Aku terus berdo’a tanpa henti.
Sesampainya di
rumah sakit, semua tampak aman saja. Ternyata itu cuma kekhawatiran kakaknya
saja. Aku pun kembali ke rumahku dengan perasaan sedikit lega. Saat itu, aku
masih yakin dia akan sembuh meski bekas jahitan itu tak akan mungkin hilang.
Esoknya aku
kembali mengunjunginya di rumah sakit. Karena hari itu Minggu, dokternya libur
katanya. Huh, sumpah aku paling sebel sama rumah sakit itu. Ada usulan untuk
memindahkan dia ke rumah sakit lain di Cirebon. Tapi entah kenapa tak juga di
urus-urus. Dia masih tergeletak tak berdaya. Aku agak terkejut saat melihatnya.
Mungkin karena ia sudah menginap di sini semalam, ia nampak pucat. Bibirnya pun
nampak sedikit berbusa. Aku tak tega melihatnya. Tangan kiri dan kakinya masih
saja bergerak-gerak. Sementara tangan kanannya diam tak bergeming sejak
kemarin. Sekali lagi aku kembali menangis melihatnya.
Hari itu aku tak
lama mejenguknya dan langsung pulang. Dalam benakku aku masih berharap ia akan
sembuh. Aku selalu memegang tangannya untuk menguatkannya.
Keesokan harinya
tepat jam 7 pagi, kakaknya kembali datang ke rumahku. Dia mengabarkan bahwa
gadis itu kritis. Aku yang saat itu baru bangun tidur langsung sikat gigi,
wudhu, kemudian membawa yasin untuk di bawa ke rumah sakit. Jantungku berdetak
tak menentu.
Aku sampai di
rumah sakit. Di sana, sudah ada pamannya yang sedang mengaji. Aku memandang
sedih ke arah tubuhnya kemudian mengaji. Aku terus mengaji dan mengaji tanpa
sadar air mataku menetes terus dan terus. Hingga sepupuku yang lainnya datang
untuk menggantikanku. Karena itu ruang ICU, maka hanya satu orang yang di
perbolehkan menjenguk pasien. Aku pun keluar berkumpul bersama keluarga yang
lain.
Aku merenung di
luar ruangan. Ya Allah, aku tidak sanggup jika ia benar-benar pergi. Aku mohon
selamatkan dia… Aku bahkan masih berfikir bahwa ia akan selamat dan kami akan
bisa berbincang-bincang lagi. Dan ketika waktu menunjukkan pukul 11, aku
pulang. Sebelum pulang, aku mampir ke warung kopi di seberang jalan. Jika ia
sadar, aku berharap kita bisa ke sini dan membeli kopi ini bersama-sama.
Entah aku lupa
tepatnya jam berapa. Ku kira sekitar jam 12-an, kakaknya kembali mengabariku
kalau dia kritis. Aku pun langsung berlari ke rumah sakit sambil membawa yasin
lagi. Yasin yang tadi sengaja ku tinggalkan di RS. Entah kenapa, kali ini aku
pasrah. Aku berdo’a, jika ini memang yang terbaik, aku ikhlas jika ia harus
benar-benar pergi.
Aku sampai di
ruangannya. Ada bibiku yang sedang mengaji. Dokter sudah siap dengan tabung
oksigennya. Aku menangis. Aku tak mampu menjerit dan hanya menangis. Aku
memegang tangannya. Air mataku terus mengalir. Dokter terus berusaha melakukan
pertolongan bahkan memompa jantungnya. Aku dan kedua bibiku berdiri di
sampingnya tak kuat melihat. Setelah beberapa saat, dokter bilang, bahwa ia
sudah tidak ada…
Seketika itu
juga badanku lemas. Bagaimana bisa ia pergi begitu cepat? Ia masih 17 tahun dan
baru merasakan cinta. Ia juga belum mengembalikan buku yang terakhir dia pinjam
padaku. Dan aku juga punya 2 buku baru yang belum kutunjukkan padanya. Ya!
Bagaimana mungkin ini terjadi??? Aku menggenggam tangannya untuk terakhir kali.
Terasa begitu lembab. Hingga akhirnya saudaraku menarikku keluar. Ini adalah
pertama kalinya bagiku. Menyaksikan kepergian orang secara langsung. Apa kau
tahu???
Begitulah dia
pergi… Saudaraku, temanku, juga sahabat terbaikku… Selamat jalan sahabat.
Begitu berat rasanya kehilangan dirimu. Aku sungguh tak pernah menyangka kau
akan pergi lebih dulu dariku. Padahal aku selalu mengharapkan, bahwa kau akan
menjadi pendampingku ketika aku menikah nanti. Kini, pada siapa lagi aku
berharap?
Tak akan ada
lagi teman sepertimu. Yang selalu mengikutiku, menemani dalam sepiku, yang
selalu nyamperin aku ketika hendak berangkat terawih, yang selalu ribut
berdebat siapa yang lebih tampan antara Kyuhyun dan Yesung, yang selalu ribet
sama urusan baju lebaran, dan tak akan ada lagi orang yang akan ku ajak makan
bakso saat hari lebaran tiba. Tradisi yang sejak dulu kita jalani.
Maafkan aku, aku
bukanlah sahabat yang baik. Aku berharap ia selalu di beri tempat yang tenang
di sisiNya. Seperti lagu terakhir yang dia minta aku downloadkan, hidup itu
memang seperti Opera Tuhan. Kita tak akan pernah tahu kapan maut menjemput.
Bisa saja saat ini aku tengah mengetik, besok sudah di panggil oleh Yang Maha
Kuasa. Naudzubillah mindzalik. Apa
pun itu, setiap manusia di dunia ini pasti akan mati. Entah kini, atau pun
nanti. Karena itu, mulai dari sekarang, jadikan diri kita lebih siap menghadap
Allah SWT. Pastikan kita selalu dalam keadaan suci ketika menghadapnya.
Malam ini, aku
akan mendengarkan lagu Cappuccino berjudul Biarlah Kusimpan dan Pelabuhan
Rapuh. Lagu terakhir yang ia minta saat terakhir berkunjung ke rumahku. Selamat
jalan, sahabat… Terima kasih atas semuanya… Ada satu hal yang ingin aku
katakana padanya. Hal yang tak bisa kusampaikan saai ia masih bernyawa. Bahwa,
aku menyayangimu… Dan aku bahagia kau hadir dalam hidupku. Jika dulu aku bilang
aku kesal karena kau selalu mengikutiku, itu salah. Aku benar-benar senang
karena kau selalu bersamaku…
Dan
memang, sesuatu itu baru terasa berharga ketika kita sudah kehilangannya…