SEPOTONG KENANGAN DILANGIT DUFAN
“Aaaaaaa” teriakan
itu kian menjadi. Shiren menutup matanya saat halilintar itu mulai melaju
dengan kecepatan tinggi. Dino tersenyum menatap gadis disampingnya itu.
“Buka mata kamu.
Rasakan sensasinya. Ini seru, Shiren! Terlalu sayang jika hanya dilalui dengan
menutup mata…” teriak Dino ditengah laju halilintar.
Shiren nampak
berfikir sejenak. Perlahan-lahan ia membuka matanya, tepat saat halilintar itu
melaju turun.
“Hwaaaaaaaaaa….”
Kembali Shiren berteriak histeris. Dino tersenyum. Ia ikut berteriak bersama
Shiren. Melepas semua beban yang selama ini tertambat dalam hatinya.
“Gimana, seru
kan?” tanya Dino saat mereka telah turun dari halilintar.
Shiren masih
mengatur nafasnya. Jantungnya berdetak tak menentu. Pasalnya, ini kali pertama
ia menaiki wahana yang benar-benar membuat jantungnya berasa mau copot.
“Kamu gila, Din!
Udah ah, aku nggak mau lagi.” Shiren hendak pergi meninggalkan Dino. Tapi Dino
buru-buru menahan tangan Shiren.
“Yah, kok
nyerah? Nanggung nih. Masa ke Dufan cuma naik halilintar sih…” Dino merajuk.
Shiren menatap
Dino ragu.
“Katanya mau
nglupain Iaan…” goda Dino sambil tersenyum nakal.
Shiren cemberut
mendengar nama itu di sebut.
“Yuuk!” Dino
langsung menarik tangan Shiren menerobos kerumunan orang untuk menuju wahana
selanjutnya. Shiren hanya pasrah.
Satu jam lalu,
Dino menemukan Shiren tengah menangis di jembatan dekat sekolahnya. Dino takut
terjadi apa-apa pada sahabatnya itu. Pasalnya, berdasarkan keterangan Via,
teman sekelas Shiren, Shiren baru saja memergoki Ian-pacarnya tengah berduaan
mesra dengan Janet-musuh besarnya di sekolah.
Untung saja, setelah
dibujuk dengan hati-hati, Shiren mau juga diajak ke Dufan. Tempat yang bagi
Shiren sangat mengerikan. Karena seingatnya, Mamanya meninggal saat perjalanan
pulang dari rekreasi ke Dufan bersama keluarga Dino lima tahun silam. Dan hal
itu, cukup membuat Shiren benci dengan tempat bermain itu.
***
Shiren masih
mengatur nafasnya. Setelah dipaksa naik kora-kora oleh Dino, akhirnya ia bisa
melarikan diri dan kabur kesini. Duduk di kursi taman mencoba menenangkan
dirinya.
Shiren melihat orang-orang berlalu lalang
dihadapannya. Ia melihat anak kecil yang digendong ibunya, ada sepasang muda mudi yang tengah bergandengan mesra. Hatinya miris. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan kedatangan seorang badut
berkostum kelinci. Badut itu membawa sebuah kaleng minuman dan menari-nari di
depan Shiren. Awalnya Shiren merasa aneh. Namun tingkah lucu badut kelinci itu
membuat tawanya membuncah.
Badut kelinci
itu tiba-tiba berjalan mendekatinya. Ia menyerahkan kaleng minuman bersoda itu
pada Shiren.
Kening Shiren
berkerut, “Untukku?”
Badut itu
mengangguk.
Shiren
tersenyum, “Makasih…”
Badut itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Shiren kemudian membuka minuman kaleng itu.
Clekk…
Air soda itu
menyembur ketika Shiren membukanya. Badut kelinci itu ikut panik melihat
kejadian di depannya.
“Shiren, kamu
nggak papa kan? Aduh, sorry-sorry, aku jogednya terlalu semangat ya sampe-sampe
kalengnya ikut bergoncang.” Terdengar suara panik dari dalam kostum badut itu.
Shiren yang
sibuk mengibas-ngibas cipratan air di bajunya terkejut.
“Dino?”
terkanya.
Dino melepas
kepala kelincinya, “Yah, ketauan deh…” gumamnya.
Shiren kembali
tertawa melihat tampang kusut Dino dan rambutnya yang acak-acakan karena
tertutup kostum kelinci itu.
Dino hanya
tersenyum aneh mendapat respon seperti itu. Ia kemudian berjalan menuju kursi
taman tempat Shiren meletakkan tas berwarna merahnya.
“Nih… Bersihakan
dulu bajumu. Baru lanjut ketawa lagi.” Dino mengulurkan tisu pada Shiren.
Shiren berhenti
tertawa dan mengambil tisu dari tangan Dino. Ia mengusap bekas noda minuman di
bajunya.
“Kamu kocak
banget sih, Din. Darimana tuh kostum? Cocok!” Komen Shiren masih menahan
tawanya.
“Hmm, dasar! Panas
tauk! Aku kan cuma mau ngibur kamu. Sorry ya, gara-gara aku, baju kamu jadi
kotor deh…” Dino tampak menyesal.
Shiren menatap
Dino. Ia tak menyangka kalau sahabatnya yang satu ini, begitu perhatian
padanya.
“Makasih ya, Din.
Kalo nggak ada kamu, mungkin aku udah jatuhin diri dari jembatan itu…” Shiren
tersenyum tulus.
Dino membalas
tatapan Shiren. Ia ikut tersenyum. Tatapan mereka bertemu. Diam, seolah tengah
berbicara lewat mata. Tiba-tiba Shiren merasakan ada lesir tak tersirat dari
dalam hatinya. Dino, mungkinkah ia…
“Oh, udah sore,
pulang yuk!” Shiren segera mengalihkan pandangannya.
Ia beranjak
berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat
penjual permen kapas tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia teringat sesuatu. Otaknya
memaksa Shiren kembali kemasa lima tahun silam. Dimana ibunya saat itu masih
hidup.
Saat itu, Dino
kecil tengah asyik memakan permen kapas. Shiren kecil yang melihatnya tergoda
untuk ikut memakan permen kapas tersebut. Namun sayang, belum sempat Shiren
menikmati permen kapas tersebut, Dino buru-buru menyembunyikan permen kapasnya
dibalik punggung. Akibatnya, Shiren kecil menangis.
“Nggak boleh. Kamu
nggak boleh makan permen kapas ini, Shiren. Nanti gigi kamu sakit loh…” ujar
Dino kecil yang semakin membuat Shiren menangis.
“Dino jahat!
Dino pelit! Mama…” Shiren kecil berteriak memanggil Mamanya.
Orang tua mereka
yang sedang asyik mengobrol terkejut mendapati Shiren yang tengah menangis.
Mereka segera mendekati Shiren dan Dino.
“Loh, Shiren
kenapa sayang?” Mamanya langsung berlutut mengelus kepala anak gadisnya.
“Dino jahat,
Mah. Masa Shiren minta permen kapasnya nggak boleh…” Shiren yang masih terisak
mengadu.
“Dino, kamu
nggak boleh gitu sayang. Coba, kasih permennya ke Shiren.” Bujuk Papa Dino.
Dino hanya
menunduk dengan mukanya yang ditekuk, “Nih…” dengan terpaksa Dino memberikan
permen kapas tersebut. Shiren langsung sumringah hendak mengambil permen
tersebut sebelum akhirnya, Dino kembali menariknya lebih rendah.
“Tapi ada
syaratnya…” ujar Dino.
Kedua orang tua
mereka saling pandang.
“Kalau udah
besar nanti, Shiren harus mau ya jadi istri Dino. Kaya Mama Papa kita. Nanti,
kita naik semua wahana disini berdua. Janji?”
Ucapan Dino
membuat kedua orang tua mereka tertawa. Sementara Shiren yang saat itu masih
kelas 6 SD, hanya bersemu merah sebelum akhirnya ia mengambil permen kapas itu
dari tangan Dino.
Tanpa sadar
Shiren tersenyum. Kejadian itu masih terasa nyata dalam ingatannya.
“Wuy, kok
ngelamun? Yuk, pergi! Katanya mau balik?” Dino menegur Shiren setelah ia telah
melepas kostum kelincinya.
Dino hampir
melangkah pergi. Namun buru-buru Shiren menangkap tangan Dino. Dino menoleh
heran.
“Tunggu dulu! Kita
kan belum nyoba semua wahana. Aku mau naik bianglala. Katanya semua pemandangan
bisa terlihat dari sana. Yukk!!” Tanpa ba-bi-bu lagi, Shiren langsung menarik Dino
menuju wahana yang dimaksud. Senyum mengembang. Pelangi seolah bersinar terang
menggantikan mendung yang selama ini bergelayut manja pada dinding hati Shiren.
Sepotong kenangan itu, tak akan pernah lagi ia lupakan.
-The End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar