Sabtu, 14 Desember 2013

Challange @KampusFiksi #FiksiBianglala

SEPOTONG KENANGAN DILANGIT DUFAN
“Aaaaaaa” teriakan itu kian menjadi. Shiren menutup matanya saat halilintar itu mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Dino tersenyum menatap gadis disampingnya itu.
“Buka mata kamu. Rasakan sensasinya. Ini seru, Shiren! Terlalu sayang jika hanya dilalui dengan menutup mata…” teriak Dino ditengah laju halilintar.
Shiren nampak berfikir sejenak. Perlahan-lahan ia membuka matanya, tepat saat halilintar itu melaju turun.
“Hwaaaaaaaaaa….” Kembali Shiren berteriak histeris. Dino tersenyum. Ia ikut berteriak bersama Shiren. Melepas semua beban yang selama ini tertambat dalam hatinya.
“Gimana, seru kan?” tanya Dino saat mereka telah turun dari halilintar.
Shiren masih mengatur nafasnya. Jantungnya berdetak tak menentu. Pasalnya, ini kali pertama ia menaiki wahana yang benar-benar membuat jantungnya berasa mau copot.
“Kamu gila, Din! Udah ah, aku nggak mau lagi.” Shiren hendak pergi meninggalkan Dino. Tapi Dino buru-buru menahan tangan Shiren.
“Yah, kok nyerah? Nanggung nih. Masa ke Dufan cuma naik halilintar sih…” Dino merajuk.
Shiren menatap Dino ragu.
“Katanya mau nglupain Iaan…” goda Dino sambil tersenyum nakal.
Shiren cemberut mendengar nama itu di sebut.
“Yuuk!” Dino langsung menarik tangan Shiren menerobos kerumunan orang untuk menuju wahana selanjutnya. Shiren hanya pasrah.
Satu jam lalu, Dino menemukan Shiren tengah menangis di jembatan dekat sekolahnya. Dino takut terjadi apa-apa pada sahabatnya itu. Pasalnya, berdasarkan keterangan Via, teman sekelas Shiren, Shiren baru saja memergoki Ian-pacarnya tengah berduaan mesra dengan Janet-musuh besarnya di sekolah.
Untung saja, setelah dibujuk dengan hati-hati, Shiren mau juga diajak ke Dufan. Tempat yang bagi Shiren sangat mengerikan. Karena seingatnya, Mamanya meninggal saat perjalanan pulang dari rekreasi ke Dufan bersama keluarga Dino lima tahun silam. Dan hal itu, cukup membuat Shiren benci dengan tempat bermain itu.
***
Shiren masih mengatur nafasnya. Setelah dipaksa naik kora-kora oleh Dino, akhirnya ia bisa melarikan diri dan kabur kesini. Duduk di kursi taman mencoba menenangkan dirinya.
 Shiren melihat orang-orang berlalu lalang dihadapannya. Ia melihat anak kecil yang digendong ibunya, ada sepasang muda mudi yang tengah bergandengan mesra. Hatinya miris. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan kedatangan seorang badut berkostum kelinci. Badut itu membawa sebuah kaleng minuman dan menari-nari di depan Shiren. Awalnya Shiren merasa aneh. Namun tingkah lucu badut kelinci itu membuat tawanya membuncah.
Badut kelinci itu tiba-tiba berjalan mendekatinya. Ia menyerahkan kaleng minuman bersoda itu pada Shiren.
Kening Shiren berkerut, “Untukku?”
Badut itu mengangguk.
Shiren tersenyum, “Makasih…”
Badut itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Shiren kemudian membuka minuman kaleng itu.
Clekk…
Air soda itu menyembur ketika Shiren membukanya. Badut kelinci itu ikut panik melihat kejadian di depannya.
“Shiren, kamu nggak papa kan? Aduh, sorry-sorry, aku jogednya terlalu semangat ya sampe-sampe kalengnya ikut bergoncang.” Terdengar suara panik dari dalam kostum badut itu.
Shiren yang sibuk mengibas-ngibas cipratan air di bajunya terkejut.
“Dino?” terkanya.
Dino melepas kepala kelincinya, “Yah, ketauan deh…” gumamnya.
Shiren kembali tertawa melihat tampang kusut Dino dan rambutnya yang acak-acakan karena tertutup kostum kelinci itu.
Dino hanya tersenyum aneh mendapat respon seperti itu. Ia kemudian berjalan menuju kursi taman tempat Shiren meletakkan tas berwarna merahnya.
“Nih… Bersihakan dulu bajumu. Baru lanjut ketawa lagi.” Dino mengulurkan tisu pada Shiren.
Shiren berhenti tertawa dan mengambil tisu dari tangan Dino. Ia mengusap bekas noda minuman di bajunya.
“Kamu kocak banget sih, Din. Darimana tuh kostum? Cocok!” Komen Shiren masih menahan tawanya.
“Hmm, dasar! Panas tauk! Aku kan cuma mau ngibur kamu. Sorry ya, gara-gara aku, baju kamu jadi kotor deh…” Dino tampak menyesal.
Shiren menatap Dino. Ia tak menyangka kalau sahabatnya yang satu ini, begitu perhatian padanya.
“Makasih ya, Din. Kalo nggak ada kamu, mungkin aku udah jatuhin diri dari jembatan itu…” Shiren tersenyum tulus.
Dino membalas tatapan Shiren. Ia ikut tersenyum. Tatapan mereka bertemu. Diam, seolah tengah berbicara lewat mata. Tiba-tiba Shiren merasakan ada lesir tak tersirat dari dalam hatinya. Dino, mungkinkah ia…
“Oh, udah sore, pulang yuk!” Shiren segera mengalihkan pandangannya.
Ia beranjak berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat penjual permen kapas tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia teringat sesuatu. Otaknya memaksa Shiren kembali kemasa lima tahun silam. Dimana ibunya saat itu masih hidup.
Saat itu, Dino kecil tengah asyik memakan permen kapas. Shiren kecil yang melihatnya tergoda untuk ikut memakan permen kapas tersebut. Namun sayang, belum sempat Shiren menikmati permen kapas tersebut, Dino buru-buru menyembunyikan permen kapasnya dibalik punggung. Akibatnya, Shiren kecil menangis.
“Nggak boleh. Kamu nggak boleh makan permen kapas ini, Shiren. Nanti gigi kamu sakit loh…” ujar Dino kecil yang semakin membuat Shiren menangis.
“Dino jahat! Dino pelit! Mama…” Shiren kecil berteriak memanggil Mamanya.
Orang tua mereka yang sedang asyik mengobrol terkejut mendapati Shiren yang tengah menangis. Mereka segera mendekati Shiren dan Dino.
“Loh, Shiren kenapa sayang?” Mamanya langsung berlutut mengelus kepala anak gadisnya.
“Dino jahat, Mah. Masa Shiren minta permen kapasnya nggak boleh…” Shiren yang masih terisak mengadu.
“Dino, kamu nggak boleh gitu sayang. Coba, kasih permennya ke Shiren.” Bujuk Papa Dino.
Dino hanya menunduk dengan mukanya yang ditekuk, “Nih…” dengan terpaksa Dino memberikan permen kapas tersebut. Shiren langsung sumringah hendak mengambil permen tersebut sebelum akhirnya, Dino kembali menariknya lebih rendah.
“Tapi ada syaratnya…” ujar Dino.
Kedua orang tua mereka saling pandang.
“Kalau udah besar nanti, Shiren harus mau ya jadi istri Dino. Kaya Mama Papa kita. Nanti, kita naik semua wahana disini berdua. Janji?”
Ucapan Dino membuat kedua orang tua mereka tertawa. Sementara Shiren yang saat itu masih kelas 6 SD, hanya bersemu merah sebelum akhirnya ia mengambil permen kapas itu dari tangan Dino.
Tanpa sadar Shiren tersenyum. Kejadian itu masih terasa nyata dalam ingatannya.
“Wuy, kok ngelamun? Yuk, pergi! Katanya mau balik?” Dino menegur Shiren setelah ia telah melepas kostum kelincinya.
Dino hampir melangkah pergi. Namun buru-buru Shiren menangkap tangan Dino. Dino menoleh heran.
“Tunggu dulu! Kita kan belum nyoba semua wahana. Aku mau naik bianglala. Katanya semua pemandangan bisa terlihat dari sana. Yukk!!” Tanpa ba-bi-bu lagi, Shiren langsung menarik Dino menuju wahana yang dimaksud. Senyum mengembang. Pelangi seolah bersinar terang menggantikan mendung yang selama ini bergelayut manja pada dinding hati Shiren. Sepotong kenangan itu, tak akan pernah lagi ia lupakan.
-The End-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar