Selasa, 22 Juli 2014

Resep Sederhana : Omelet Mie Telur


Helloww… Kali ini, aku mau post tentang makanan, nih. Hihi. Tumben-tumbenan kan, aku post soal makanan. Jadi, ceritanya aku lagi ngidam omelet tapi males banget buat bikinnya. Pasalnya, seingatku, saat aku makan omelet, aku merasa enek saat memakan makanan itu. Tapi, ada salah satu situs yang membuat aku sukses semakin ngiler sama makanan yang satu ini. Jadi deh, aku bikin juga. Yang mau tahu resepnya, chek this out:)

Siapkan bahan-bahan :


1 Mie goreng rasa apa saja (sesuai selera)


1 butir telur ayam


1 batang daun bawang

Cabe (banyaknya sesuai selera)


Air secukupnya

Mentega atau minyak goreng

Cara membuat :
  • Rebus air secukupnya sampai mendidih, kemudian masukkan mie instan. Tunggu sampai mie matang.
  • Sembari menunggu mie matang, masukkan telur ke dalam mangkuk, kemudian kocok. Potong juga daun bawang dan cabe tipis-tipis.
  • Setelah mie matang, angkat dan taruh di dalam mangkuk berisi telur.
  • Masukkan irisan daun bawang, cabe dan bumbu mie ke dalam mengkuk tersebut. Aduk hingga rata.
  • Siapkan penggorengan, panaskan minyak secukupnya, lalu tuangkan adonan mie instan tadi. Saat menggoreng, tekan-tekan mie bagian atas untuk mempercepat proses kematangan bagian bawah. Kalau tidak mau gosong, nyalakan api sedang saja.
  • Kalau bagian bawah sudah matang, balik adonan dan kembali tekan-tekan adonan bagian atas.
  • Jjanjjan… Omelet sudah matang dan siap dinikmati :).




Nah, gimana? Gampang banget kan bikinnya? Biasanya, aku bikin cuma pake mie ama telur doang. Tapi kali ini, iseng-iseng aku tambahin daun bawang dan cabe supaya lebih maknyuuus… hehe. So, selamat mencoba dan menikmati… :).

Selalu Ada Tawa Dalam Setiap Jumpa 2 : Reuni SD

Reuni angkatan 2004 SDN Patrol 1

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Kehadirannya, seringkali dijadikan ajang pertemuan bagi mereka yang sudah lama tak bertemu. Seperti anak dengan orang tuanya, teman sejawat atau sanak family. Begitu pun kami—angkatan 2004 SDN Patrol 1—yang tak menyiakan moment tersebut, untuk melakukan ajang reuni dengan mengadakan acara buka bersama.
Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, berkat bujukan Auly, akhirnya aku ikut bukber bareng temen-temen SDku. Saat jam di Hapeku masih menunjukkan pukul 4 sore kurang sepuluh menit, Auly sms yang isinya : Nopha, aku ke rumah kamu, ya!. Haha, nih anak ternyata masih takut kalo aku nggak jadi ikut bukber. Jadilah beberapa menit kemudian, ia udah duduk manis di teras rumahku setelah sebelumnya mengucap salam. Aku yang memang sudah siap itu, langsung menyambutnya.
Kami menunggu jemputan di rumah Auly. Beberapa saat setelah kami sampai di rumah Auly, tiga motor sudah terparkir di depan rumah Auly. Mereka adalah : Lina, Elin, dan Asep. Kesan pertamaku saat melihat Lina, aku bingung. Aduh, itu siapa, ya? Mampus! Aku lupa sama wajahnya (mungkin efek nggak pake kacamata juga). Aku langsung belingsatan nanyain ke Auly, itu siapa? Haha, tapi setelah melihat lebih dekat, aku inget wajahnya. Wah, ini mah bener efek nggak pake kacamata J. Sementara untuk Elin dan Asep, setelah lulus SD, kami lumayan sering ketemu. Jadi, wajah mereka nggak asing lagi. Ya, meskipun banyak yang berubah dari mereka kalo dibandingkan dengan saat SD. Hehe.
Oke, kami pun kemudian langsung cuuusss ke bengkel tempat Apip bekerja. Kesan pertamaku waktu liat Apip : Haah?? Itu beneran Apip? Seriuss? Sumpah beda banget sama waktu TK and SD. Aku sampe melongo liat dia. Yang paling bikin beda dari dia itu, dia pake anting di telinganya. Kayak preman aja. Haha. Maap, Pip. Tapi, untung si Apip ini anaknya asyik. Jadi, nggak ada kecanggungan lagi di antara kami meski udah lama nggak ketemu.
Next, kupikir mereka udah ngerencanain acara ini matang-matang. Ternyata, pas sampe bengkel Apip, anak-anak lain belum pada dateng. Jadilah, aku, Auly, Lina dan Elin mampir dulu ke toko sepatu yang terletak tak jauh dari bengkel Apip. Biasa, naluri shopping Lina gak bisa diem kalo liat sepatu. Haha J.
Cukup lama kami di toko sepatu. Masalahnya, si Lina ini suka sama dua sandal dan bingung mau milih yang mana. Tapi, setelah mempertimbangkan soal harga, cewek yang sekarang menjabat sebagai TU di sebuah SMK itu, memutuskan untuk membeli sepatu yang lebih murah. Jadi, jangan heran ya liat ibu-ibu lagi belanja. Hihi. J
Setelah selesai dengan urusan belanja sandal—mampir sebentar di toko baju—kami langsung kembali ke bengkel Apip. Saat itu, Apip sudah selesai bekerja dan ikut bergabung bersama kami. Detik berikutnya, Asep ditugaskan untuk menjemput Iis, sementara aku dan Auly—dengan dibonceng Apip dan Lina yang dibonceng Elin, pergi ke TKP (tempat kami akan bukber nanti). Saat itulah, aku baru melihat temen-temen yang lain datang. Sebenernya, aku inget mukanya, tapi lupa nama. Hehe, maaf ya temen-temen. Lewat Apip, aku baru tahu kalau mereka—yang tadi kulihat itu—adalah Wiryo dan Surya. Kalau Surya sih, aku agak inget-inget gitu sama mukanya. Kalo Wiryo, aku sama sekali clueless. Baru setelah pulang ke rumah, aku inget gimana muka Wiryo waktu SD. Sumpah, beda banget! Dulu itu kecil and putih kalo nggak salah. Tapi yang kulihat tadi, ya tetep kecil sih. Tapi dia udah iteman. Hehe J.
Kami tiba di sebuah tempat makan. Apip langsung memesan ikan bakar untuk kami berbuka nanti. Sementara kami duduk-duduk santai di salah satu gazebo. Sudah lumayan banyak yang dateng. Ada Jefri, Aprian, Iis, Dicky, Rizal dengan istrinya—maaf ga tau namanya. Baru, agak sore dikit, ada Asep yang nyusul dateng.
Setelah agak lama nggak ketemu—mungkin sekitar 10 tahun sejak kami semua lulus SD—aku merasa sedikit canggung. Namun, anak-anak cowok itu sepertinya tidak merasakan hal yang sama denganku. Mereka sudah terlihat akrab mengobrol ke sana ke mari.
Matahari mulai masuk ke peraduannya. Meninggalkan semburat jingga yang indah di sore itu. Kami masih asyik mengobrol. Kali ini, sudah duduk melingkar di gazebo sambil sesekali mengabadikan moment tersebut dengan ber-selca ria. Tak jarang, celetukan khas anak-anak muda keluar dari bibir para lelaki membuat kami semua tertawa. Ah, mungkin aku tak akan menyesal karena telah datang ke reuni ini.
Sampai terdengar kumandang adzan maghrib dari hape Asep, makanan belum juga datang. Seseorang dari kami memutuskan untuk ke depan untuk memesan minuman hanya untuk berbuka. Wah, ternyata yang menurutku, pesan jam lima itu masih terlalu dini, ternyata aku salah. Saat itu, cukup banyak rombongan yang datang dan mungkin, mereka memesan lebih dulu dari kami.
Teh botol pun datang. Kami berbuka seadanya dengan hanya meminum teh botol yang dipesan. Itu pun, belum sampai habis, ada yang tersenggol gara-gara kami masih sibuk ber-selca ria. Inilah perbedaan yang moncolok dari zaman kita SD dulu. Kalau dulu, belum ada hape yang bisa mengabadikan moment-moment kebahagiaan kita, kali ini, kita memanfaatkan gadget-gadget untuk mengabadikan kebersamaan kita sore itu. Tapi, ternyata ada salah seorang dari kita yang bawa foto waktu kecil. Dialah : Asep Korong. Hihi. Tau nggak, kenapa dipanggil Asep Korong (baca : upil)? Oke, aku bakal ceritain asal mulanya.
Jadi, dulu waktu SD, si Asep ini anaknya super duper iseng. Buat menarik perhatian cewek, dia sering banget ngupil di depan kita, terus nyodor-nyodorin tuh upil ke kita. Hii, pokoknya kalau ada Asep di dekat kita, kita pasti langsung waspada. Haha. Itulah mengapa ia dijuluki Asep Korong. Selain untuk membedakannya dengan dua Asep lainnya, tentunya.
Oia, di kelas kita saat itu, kita punya triple Lina—Lina Maulina, Maulina Rizkia, dan Lina Silviani. Triple Asep—Asep Suprihatin (almarhum), Asep Saefullah, dan Asep Sefrudin, dan Triple Annisa—Annisa Fathanah, Siti Anisah, dan Annisa ‘tok (maksudnya Annisa aja nggak ada embel-embel apa pun di belakang namanya J).
Sambil menunggu ikan bakar yang tak kunjung datang hingga jam menunjukkan pukul 18.30, kami kembali mengobrol. Saat aku dan Auly selesai sholat, entah dari mana asalnya, anak-anak cowok yang iseng-iseng itu mulai membicarakan Lina Silviani. Aku ngakak ketika ada salah satu dari mereka nyeletuk : “Wis pinter durung kanah, Cah? (Udah pinter belum dia, Temen-temen?)”. Gimana nggak ngakak. Dia ngomong asal ceplok aja seolah orang yang tengah ia bicarakan tak akan sakit hati jika mendengarnya. Haha. Jadi, si Lina ini waktu SD orangnya kalem banget—cenderung oon (maaf, Lin J). Sayang aja dia anak kepala sekolah sehingga ia bisa diterima sekolah di SD kami.
Denger-denger sih, sekarang Lina kuliah. Tapi, kata Maulina Rizkia yang masih saudara dengannya, dia kuliah tapi pas ditanyain soal kuliahnya malah planga plongo. Haha, sumpah aku nggak bisa nahan ketawa. Bukannya apa-apa. Tapi, gaya mereka pas nyeritain itu sukses bikin perut ini sakit.
Tanpa terasa, adzan isya sudah berkumandang dan makanan baru saja datang—itu pun setelah kami bolak balik nanyain kapan makanan kami datang. Nyesel juga milih tempat di situ. Lama. Ya, ini buat pelajaran aja kalau kita nggak bakal makan di situ lagi.
Kami makan dengan nikmatnya. Satu ikan berdua. Dan yah, aku kok nggak bisa ngerasain rasa ikannya ya? Hanya bau amisnya aja yang menyeruak. Ah, mungkin aku sudah kenyang dengan candaan-candaan kami tadi. Sehingga baru makan sedikit saja, udah kenyang.
Selesai makan, kami kembali ngobrol-ngobrol lagi. Sayangnya, Wiryo dan Surya harus pulang lebih dulu. Tapi, untungnya itu tak mempengaruhi keceriaan kami malam itu. Kami sampai nggak tarawih karena waktunya tidak memungkinkan. (Alesan! Hihi).
Setelah mengobrol tentang masa-masa konyol kami saat SD, juga tentang cinta pertama yang tentu saja ikut hadir menemani perjalanan kami saat itu, juga tentang teman-teman yang selalu mendapat ranking di kelas, si Asep Sefrudin tiba-tiba nyeletuk soal Asep ‘Korong’ dan Maulina. Hihi. Dia ternyata  punya jiwa mak comblang. Aku juga sempat dibawa-bawa dalam masalah ini. Tapi, untung saja aku bisa terselamatkan. Haha.
Sebelum itu, ada intermezzo dulu. Dicky yang katanya bisa menghipnotis orang, mencoba untuk menghipnotis Asep Sefrudin. Sefrudin awalnya ketawa-ketawa aja sampe bikin si Dicky kesel. Akhirnya, setelah beberapa saat, dia berusaha serius. Kami semua juga ikut serius karena penasaran dengan hasilnya. Bahkan, Rizal sampai memvideo adegan tersebut. Sayangnya, Dicky yang serius ingin mempraktekan ilmunya itu, dikagetkan dengan tawa Asep yang menggelegar. Kami semua sontak ikut tertawa. Ternyata, si Asep ini dari tadi gak dengerin Dicky dan malah sengaja ngerjain Dicky. Haha, si Dicky ampe kaget dan kesel gara-gara dikerjain Asep.
Tawa itu selalu ada di setiap Jumpa. Ya, begitulah kami yang selalu tertawa di sela-sela obrolan kami. Tapi setelah itu, Rizal yang dulu adalah ketua kelas kami, mengusulkan untuk mengenang teman-teman kami yang telah berpulang ke pangkuanNya mendahului kami. Termasuk wali kelas kami tercinta, Pak Toto Irianto (almarhum).
Bermula dari Asep Suprihatin. Dia adalah anak yang paling bandel di kelas dulu. Tak jarang ia menggoda cewek-cewek sampe ngebuat mereka nangis. Ternyata, kenakalannya itu berlangsung sampai ia tumbuh menjadi remaja. Kudengar, ia kecelakaan saat mengendarai motor di daerah Cirebon. Kalau nggak salah, pas lebaran atau setelahnya—aku lupa. Kami terhanyut dalam kenangan itu meski tak begitu lama karena kembali kami tertawa mendengar komentar-komentar konyol Asep cs.
Waktu itu pun datang juga. Di mana ada perjumpaan, di situ pula ada perpisahan. Karena waktu sudah malam, kami memutuskan untuk menyudahi gathering kami. Tapi sebelum itu, Rizal mengusulkan untuk mengadakan pertemuan lagi seusai lebaran—tepatnya tanggal 1 Agustus—di rumahnya. Kali ini, kami semua ditugaskan untuk mengajak anak-anak lain yang saat itu tak bisa hadir.
Ada satu hal yang menarik di sini. Entah itu ide siapa, tapi mereka bilang, pada pertemuan berikutnya, kami diminta membuat kado yang isinya barang yang minimal Rp 10.000 harganya, untuk kemudian kami tukarkan dengan teman-teman lain. Well, ide yang cukup unik.
So, sebelum benar-benar berpisah, kami berfoto bersama dulu. Jepret! Satu kali. Jepret! Dua kali. Setelah itu, bubar. Ada perasaan tak biasa yang saat itu tiba-tiba merongrong hatiku. Banyak perubahan dari mereka, membuatku merasa sedikit iri. Mereka sudah dewasa dan sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang jadi guru, TU, kerja di bengkel, kerja di toko sembako, kuliah, skripsi, sementara aku?
Selca sebelum pulang
Oke, jika ada yang bertanya aku sedang sibuk apa saat ini, mungkin jawabannya : aku lagi sibuk belajar nulis. Ya, aku mulai menekuni dunia ini sejak tahun lalu. Masih awam, sih. Tapi, aku berusaha untuk jadi penulis professional. Doakan saja, semoga karyaku segera terbit. J
Begiitulah kisah reuniku kali ini. Jadi, jangan bosen yah sama cerita ini. Karena reuni-reuni selanjutnya, akan segera menyusul. Hehe. J



Senin, 21 Juli 2014

Selalu Ada Tawa Dalam Setiap Jumpa 1 : Ketemu Machan

Sabtu, 19 Juli 2014, Auly—sahabat karibku—mengajakku ikut ke acara bukber bareng temen-temen SD. Jujur, aku ingin sekali ikut. Sayangnya, aku memang sudah punya janji dengan Mbak Tri, untuk buka bersama.
Keesokan harinya (20/07), aku dan Auly pergi ke pasar untuk membeli buah. Rencananya, kami ingin menjenguk Machan (Novi)—salah satu anggota D’Range Ice yang juga teman SMA kami—di Eretan. Katanya, dia sakit tipes dan sedang istirahat total di rumahnya. Ckckck, aku nggak ngebayangin sih, kok bisa ya, badan bongsor gitu kena sakit? Hihi. Peace, Machan… J
Setelah sedikit bernegosiasi dengan penjual buah mengenai harga buah, kita memutuskan untuk membeli pisang dan jeruk. Btw, penjualnya pelit banget. Kita nawar harga pisang gak dikasih diskon-diskon acan. Untung aja, jeruknya bisa ditawar. Haha. Ibu-ibu banget sih, komplen masalah harga. J
Oke, buah pun sudah di tangan. Kami—aku dan Auly—kemudian langsung naik elp menuju Eretan. Cukup lama sampai mobil yang kami tumpangi bergerak, kami ngobrol-ngobrol. Ternyata eh ternyata, ibu guru TK ini (baca : Auly), belum juga nyerah buat ngajakin bukber bareng temen SD. Selain ngomongin soal K-Pop, dia juga selalu menyelingi dengan kata-kata bujukan supaya aku ikut bukber. Belakangan sih, aku tahu. Ternyata, kayaknya dia ini mau buktiin sama Apip, Elin, Asep, atau entah siapa saja teman SD yang ia temui malam sebelumnya, bahwa dia pasti bisa ngebujuk aku untuk ikut bukber.
Well, kami tiba di rumah Machan. Hampir tiga tahun nggak ketemu, rasanya agak asing liat mukanya. Agak canggung juga, sih. Berbeda denganku, Auly terlihat lebih akrab dengannya. Soalnya, dia sering nginep di kosan Machan kalo dia lagi di Bandung. FYI aja ya, Machan ini kuliah di UPI, Bandung. Dia udah tingkat akhir dan kabarnya, sakitnya ini masih ada hubungan dengan urusan skripsi. J
Jadilah, reunian yang nggak direncanakan ini terjadi. Seperti acara reuni-reuni biasanya, Machan yang saat itu kondisinya sudah membaik, mulai nyerocos tentang masa-masa kami di DN. Tentu saja bukan hanya Machan. Aku dan Auly juga ikut antusias kalau membicarakan soal masa lalu. Apalagi, soal gebetan pas SMA. Haha.
Jadi jadi, setelah lama gak ketemu, ternyata Machan gak berubah. Kami semua ingat masa-masa ngecengin gebetan. Berbeda dengan aku dan Auly, yang suka ngecengin adik kelas (soalnya kami angkatan pertama dan nggak punya kakak kelas L), si Machan ini, kecengannya guru. Anak DN angkatan 1 pasti tahu siapa guru yang di maksud. Tapi, aku nggak boleh nyebutin di sini. Takut ada yang ngambek. Hihi.
Tawa itu selalu ada di setiap cerita yang mengalir lembut dari bibir kami. Seolah ia ikut mengiringi kebahagiaan kami saat itu. Ya, berawal dari ngobrolin kecengan, guru-guru, DN, sampe-sampe topik berganti ke Running Man. Program variety show Korea yang seru abis!!! Ternyata, kita bertiga sama-sama penggemar Running Man. Auly dan Machan mengidolakan Kwang Soo. Sedangkan aku, tentu saja Kim Joong Kook yang paling kuat. J
Oke, sebenarnya, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku tiap ketemu temen lama. Yang ngebuatku, males dateng ke acara reuni-reuni itu. Ya, seperti bulan Ramadhan tiga tahun lalu, saat temen-temen SMA mengadakan acara reuni di SMA kami—Da’I Annur. Saat itu, aku berhasil dibujuk oleh anggota D’Range Ice lainnya—Machan, Indah, Auly dan Bochil—untuk ikut acara itu. Aku setuju. Karena aku ingin sekali berkumpul dengan mereka. kalau tidak salah, kami juga berjanji untuk membeli ice cream yang akan kami makan sama-sama seperti saat kami SMA dulu. Sayangnya, rencana hanya tinggal rencana. Seperti dugaanku, acara itu tak seindah bayangan mereka.
Masalah pertama datang dari Machan yang tiba-tiba pulang. Dia bilang, ada masalah sama pacarnya (padahal sebenernya dia lagi bête sama salah satu temen—entah siapa). Selanjutnya, disusul dengan Indah dan Bochil—yang merupakan PANITIA acara tersebut—malah sibuk mondar mandir dan nyuekin kami (baca : aku dan Auly). Auly sih, masih mending. Dia kebagian tugas di dapur. Nah aku? Fiuh, bener-bener bête! Untung aja ada Icha yang nemenin aku. Jujur ya, Icha juga sibuk. Tapi, dia nggak sampe nglupain temen, kok. Malah ngajak-ngajak. Kalo kalian minta bantuan, aku juga dengan sukarela membantu. So, thank’s to Icha and buat kalian, aku udah maafin, kok. Semoga nanti, kita bisa bener-bener berkumpul ber-5 and ngabisin waktu bersama... J
Hm, sorry. Tadi cuma intermezzo doang. Intinya sih, aku seneng bisa ketemu sama Machan lagi—meski harus dalam keadaan yang kurang baik (baca : sakit). Karena keasyikan ngobrol dan ketawa-ketawa, tak terasa waktu dua jam lebih udah terlewat. Nah, si Auly ini minta pulang. Aku mengiyakannya karena matahari sudah semakin panas saat itu.
Kami berpamitan pada Machan dan keluarganya. Tak lupa, cipika-cipiki untuk terakhir kalinya. Setalah itu, kami menyeberang dan kembali menunggu elp untuk pulang ke Patrol City. Hihi. Tau nggak? Setelah di elp dalam perjalanan pulang, eh si Auly maksa lagi buat ngajak aku ikut bukber. Bahkan saat kami berpisah jalan di perempatan pun, dia sempat mengancam : “Pokoknya jam 4, ya! Kalo nggak ke rumahku, aku yang ke rumahmu!”. OMG, jadilah aku mulai luluh dan terpaksa membatalkan acaraku dengan Mbakku tersayang. Kufikir, toh nggak ada ruginya kan datang ke acara itu? *semoga.
Sekian dulu ya, postingannya. Nanti buat yang bukber, aku share di postingan berikutnya. Bye bye… J


To be continue…

Kamis, 10 Juli 2014

Haengbokhan Reunion ( Best Moment )

Hari ini, aku berjanji bertemu teman lamaku untuk buka bersama. Rencana yang sudah hampir satu Minggu kami susun ini, akhirnya tercapai juga.
Kami berjanji bertemu di rumah Auly tepat pukul 5 sore. Aku pun santai karena masih satu jam dari waktu yang dijanjikan. Tapi, karena terlalu asyik online, aku tak sadar bahwa waktu telah berlalu hampir 30 menit. Sebuah dering sms, membuyarkan konsentrasi online-ku. Kubuka pesan yang masuk dari Jengke—sapaan akrabku pada Kelina, teman SMAku.
Gobang, aku udah di depan rumah Auly.
Aku terbelalak. Segera kulihat jam di layar hapeku. Takut aku keasyikan online sampai lupa waktu. Tapi aku langsung menghembus nafas lega, melihat waktu masih menunjukkan pukul 16.30.
Aku langsung membalas pesan Jengke dan segera bersiap-siap pergi. Tak lupa, aku pamit pada ibuku.
Sesampainya di depan rumah Auly, ternyata sepi. Dimana Jengke? Aku langsung menggedor pagar rumah Auly sambil mengucap salam. Siapa tahu Jengke sudah masuk ke dalam. Sayangnya, sama sekali tak ada sahutan dari sang punya rumah. Kuputuskan untuk meng-sms Auly.
Ly, aku udah di depan.
Kutunggu sebentar, tetap tak ada balesan. Aku akhirnya missed call nomor Auly. Tetap tak di angkat. Saat itu, aku melihat kepala Jengke nongol dari warung seberang rumah Auly.
Aku tersenyum. Jengke—sambil menenteng dua tas, menghampiriku. Kami langsung cipika cipiki melepas rindu. Maklum, sudah beberapa tahun kami tak bertemu.
“Gobang, ya ampun. Makin gendut aja.” Katanya.
Hah? Aku tak percaya dibilang seperti itu. Tapi, aku maklum melihat badannya yang memang lebih kurus dariku. Hihi.
“Mana Auly?” tanyanya.
Aku menggeleng. Kami berdua sama-sama menggedor pagar dan mengucap salam berkali-kali, namun tetap tak ada sautan.
“Ah, mungkin Auly belum pulang dari rumah saudaranya.” Kataku akhirnya.
Ya, Auly sempat membatalkan untuk ikut bukber bersama kami karena saudaranya meninggal. Tapi karena acaranya tak sampai sore, ia pun memutuskan untuk ikut.
Karena belum ada sahutan dari Auly, kami pun memutuskan untuk mampir ke kontrakan Jengke dulu. Di perjalanan, Jengke cerita tentang teman-teman kami yang sudah menikah dan punya anak. Aku tertawa. Terlebih lagi, dia bilang orang tuanya sudah menyuruhnya menikah.
“Ya, gimana mau nikah ya, Gobang. Orang calonnya aja belum ada.” Katanya dengan logat jawa-sunda.
Dia juga cerita, katanya, tiga hari ini, ia tak makan pas buka sama sahur. Aku jelas aja kaget. Pas ditanya kenapa, jawabannya semakin sukses mengocok perutku. Cowok. Pantas saja dia kurus gitu. Haha.
Setelah mengisi perjalanan singkat menuju kontrakan Jengke dengan derai tawa, akhirnya kami sampai. Kami disambut oleh beberapa penghuni kontrakannya.
Setelah mempersilahkanku duduk di ruang tunggu, Jengke pamit ke belakang. Kufikir, tak akan lama. Ternyata dia mandi. Jadilah aku menunggu sambil ngobrol dengan anak kelas 4 SD, yang merupakan anak dari pemilik rumah yang Jengke tempati.
Saat menunggu, akhirnya Auly telefon. Aku langsung mengangkatnya. Fiuh, kirain nih anak kenapa-kenapa. Aku lega akhirnya dia telefon.
“Ly, tadi aku ke rumah kamu. Kamu belum pulang ya? Sekarang aku lagi di kontrakan Kelin. Ly… Ly…”
Merasa tak ada respon, segera kulihat layar hapeku. Woalah, ternyata hapeku mati. Weduss!!!
Aku segera menyalakan kembali hapeku. Beruntung masih tersisa sedikit batere. Aku mengirim pesan pada Auly kalau kita akan ke rumahnya.
Tak lama, Jengke pun keluar dengan pakaian yang lebih santai. Tadi dia masih pakaian seragam kantor sih. Dan kami pun langsung beranjak pergi.
***
Sesampainya di rumah Auly, ternyata keluarganya sudah pada kumpul. Aneh, padahal tadi sepi. Kata Auly, tadi pas aku dan Jengke di depan, ga ada yang denger sahutan kami. Auly sendiri tak mendengar bunyi sms dan panggilanku karena dia sedang tidur. Lol.
Karena sudah sore, kami pun bergegas menuju Jogja Toserba dengan menggunakan elp. Tadinya sih, mau naik becak, tapi sepertinya lebih murah naik elp. Hehe.
Kami masih sibuk mengobrol bahkan ketika sampai di sebuah stan food court. Kami berdiskusi menu apa yang akan kami makan untuk buka. Cukup lama kami berdiskusi. Bahkan sampai mempersilakan orang yang antri di belakang kami untuk maju duluan. Sebenarnya, salah satu yang menjadi pertimbangan kelamaan kami adalah : harga. Haha.
Setelah memutuskan pesanan, aku duduk di tempat pilihan kami agar tak ditempati oleh orang lain. Tak lama setelah itu, makanan datang. Karena adzan maghrib ternyata sudah berkumandang, aku dan Auly langsung menyantap makanan kami. Sementara Jengke masih harus menunggu pesanannya.
Sambil menunggu pesanannya, Jengke mengeluarkan si ‘hitam’ kesayangannya. Dia mengambil selca kami menggunakan si ‘hitam’nya itu. Sepertinya, ia sangat menyayangi si ‘hitam’nya, karena setelah itu, matanya tak lepas dari si ‘hitam’.
Kami mengobrol ringan selama makan. Tentang film, buku, sampe tentang kondisi Palestina akibat ulah Israel. Setelah itu, kami ke lantai bawah untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
***
Karena tak ada becak atau pun elp, kami memutuskan untuk pulang berjalan kaki di bawah sinar rembulan yang terang. Kami terus mengobrol sepanjang jalan. Sesekali, Auly membimbing badan Jengke untuk menepi karena mata Jengke terus fokus pada si ‘hitam’nya.
Saat adzan isya berkumandang, kami akhirnya sampai di rumah Auly. Kami memutuskan untuk tarawih di masjid seberang jalan dengan meminjam mukenah Auly.
Masalah pun kembali menghampiri. Rumah Auly kembali sepi seperti tak berpenghuni.
“Mungkin tarawih kali,” kata Jengke yang langsung disangkal Auly.
Auly bilang ibunya sedang haid. Jadi, dia pasti ada di rumah. Aku dan Jengke pun manggut-manggut. Sementara Auly kembali berusaha menghubungi ibunya.
Cukup lama, tak ada jawab. Bahkan hingga masjid tempat tujuan tarawih kami iqomah, belum ada tanda-tanda pintu akan dibukakan oleh ibu Auly. Sampai akhirnya, muncul satu ide dari kami. Yaitu, melompat pagar.
Diantara kami bertiga, Jengke yang memiliki badan lebih tinggi. Akhirnya, dia yang berusaha melompati pagar rumah Auly. Aku hanya tertawa melihat sosoknya yang tengah melompati pagar persis di bawah rembulan yang tengah bersinar terang. Mirip serigala. Haha. Seharusnya, tadi kami abadikan moment itu.
Jengke berhasil melompati pagar. Ia mengetuk-ketuk pintu rumah Auly sementara aku dan Auly menunggu di luar pagar. Beruntung, ibunya Auly kali ini menyahut. Ia pun membukakan pintu untuk kami. Ternyata, beliau juga ketiduran.
Setelah mengambil mukenah, kami semua segera bergegas menuju masjid karena kami sudah telat. Sesampainya di sana pun shalat isya telah usai sehingga kami harus shalat sendiri-sendiri.
***
Sesudah shalat tarawih, kami mampir untuk membeli es karena sedari tadi tenggorokan kering minta di isi. Kemudian, kami singgah di rumah Auly lagi.
Inilah point hari ini. Berawal dari membicarakan sinetron CHSI, sampai-sampai kami membicarakan teman-teman kami di DN serta masa-masa SMA kita. Jengke juga sempat mengungkit nama Pambudi, seorang adik kelas yang merupakan kecengan kami saat SMA. Bahkan, sampai sekarang kami masih berebut soal Pambudi. Haha. Masa Jengke bilang Pambudi mirip Lee Kwang Soo? Anggota Running Man dengan tampang polos dan selalu bernasib apes. Tapi, emang sedikit mirip sih. Karakter 'bloon'nya. Lol.
Kami  juga membicarakan teman-teman kami yang ujung-ujungnya pacaran dengan teman satu angkatan juga. Ada kisah Lusi yang beruntung karena cinta terpendamya pada Imron akhirnya terbalas selepas mereka lulus. Bener-bener gak nyangka dan amat langka. Haha. Piece, Lus.
Ada juga teman kami yang kini sudah bekerja di Jakarta, teman kami yang rajin belajar, dan ada pula yang sering gonta-ganti pacar. Wah, kalo ngomongin masa-masa itu, aku jadi kangen. Jadi ngehayal kan, seandainya kita bisa tinggal bareng lagi kaya dulu. Sayangnya, hal itu sepertinya hampir mustahil.
Sekolah kita, kini seperti di ambang kehancuran. Entahlah! Aku juga tak tahu kenapa bisa sampai seperti itu dan tidak mau tahu. Aku hanya berharap yang terbaik. Agar suatu hari, kita bisa kembali bersama. Tanpa memandang status masing-masing.
Hoaaam, ngantuk kan jadinya. Hihi. Udah ah, ceritanya segitu aja ya. Intinya, aku seneng karena bisa ketemu temen lama. Dan nggak ngebayangin kalo bakal menyenangkan seperti ini. Tahu gitu, dari dulu kita kumpul. Hehe.
Oke deh, satu hal yang aku pelajari dari kejadian hari ini. Silaturahmi itu penting. Jangan sampai hubungan kita terputus begitu saja dengan orang-orang yang kita sayangi. Karena misscomunication itu juga bisa membuat kesalahpahaman. Toh, kalau udah kumpul, kita bakal lupa kok ama beban kita. Yang ada, justru canda dan tawa. So, maafin buat temen-temenku karena selama ini aku selalu bersembunyi dari kalian. Mulai sekarang, kalo kalian dateng atau nanyain aku, aku pasti nggak akan ngehindar. J
Udah dulu, ya. Bye bye…


Selasa, 22 April 2014

Selamat Jalan, Sahabat...



14042014
Hari itu, aku kehilangan seorang sahabat. Satu-satunya sahabat yang selalu bersamaku sejak bertahun-tahun lalu. Dia pergi, untuk selama-lamanya. Kecelakaan naas itu telah berhasil merenggut nyawanya. Ya, dia pergi. Dan tak akan pernah kembali.
Namanya Astria Alfiani. Kami memanggilnya Astri. Dia sepupuku dan lebih muda 4 tahun dariku. Entah kenapa, meski kami berbeda usia cukup jauh, ia selalu ingin mengikutiku. Rumah kami memang tak berdekatan. Tapi juga tak terlalu berjauhan. Sewaktu masih SD, ia kerap kali mengikutiku ketika aku hendak bermain ke rumah teman. Aku bahkan merasa risih sehingga aku pergi diam-diam bahkan berlari untuk menghindarinya. Tapi dasar bocah itu keras kepala. Dia tetap saja mengikutiku.
Dulu, ketika aku masih tinggal di rumah nenekku, meskipun aku sudah SMP dan dia masih SD, dia tetap mengikutiku. Ia juga sering menginap di rumah kami. Aku juga heran, sebenarnya apa yang membuatnya selalu mengikutiku? Apa karena dia tidak punya teman? Mungkin itu benar. Jadi, ku biarkan saja dia terus mengikutiku.
Meski kita tak bertemu setiap hari karena berbeda sekolah, namun setiap akhir pekan dia selalu main ke rumahku. Kami menonton TV bersama. Dia paling senang menceritakan tentang teman-temannya di sekolah. Waktu SD, dia bahkan aktif di kegiatan Pramuka. Ya, meskipun badannya besar, pada dasarnya ia memang suka jika punya banyak teman.
Saat SMA, aku memutuskan untuk masuk Boarding School. Meski demikian, sekolah itu tak terlalu ketas seperti sekolah asrama pada umumnya. Jadi, aku masih bisa leluasa mencuri waktu pulang ke rumah setiap akhir pekan. Apalagi di sekolahku, hari Sabtu itu hari bebas alias libur. Jadi aku bisa santai pulang ke rumah karena sekolahku masih terletak satu kota dengan kampungku.
Gadis itu sudah beranjak remaja. Ia sudah SMP. Entah darimana dia tahu kalau aku selalu pulang ke rumah setiap akhir pekan, tapi dia selalu datang untuk menemani waktu liburku. Aku juga tak tahu kenapa, sejak SMP, pergaulanku dengan teman sekitar rumahku seperti terbatas. Sehingga mau tak mau aku selalu di rumah dan dia lah yang menemaniku.
Aku yang awalnya risih dengan kehadirannya mulai membuka diri. Kami berdua saling berbagi hal. Kami suka nonton FTV, aku juga cerita kalau aku suka nulis dan musik. Dan dia juga suka. Ku fikir itu karena dia terus mengikutiku, karena itu ia menyukai hal yang sama denganku. Kami juga suka membahas hal yang lagi ngetrend saat ini. Termasuk drama Korea yang saat itu tengah booming di Indonesia. Dia sangat suka drama My Princess. Dia juga suka Yoon Si Yoon dalam drama Kim Tak Gu. Dia juga suka drama Boys Before Flowers terutama sama Kim Hyun Joong. Dia juga suka Song Sam Dong aka Kim Soo Hyun di drama Dream High.
Aku yang mengenalkan semua itu padanya. Aku juga mengenalkannya pada internet. Kami sering pergi ke warnet dan dia memintaku membuatkan facebook untuknya. Dan aku membuatkannya. Aku juga mengenalkannya pada Super Junior, boyband favoritku. Saat aku bilang aku suka Kyuhyun, dia juga langsung suka Kyuhyun. Tapi saat aku bilang aku suka Donghae dan Yesung, dia tetap suka Kyuhyun. Aku bilang ganteng juga Yesung. Tapi dia bilang tetep Kyuhyun. Satu yang ku tahu, dia itu ternyata ngeyel juga.

Lulus SMP, dia tidak melanjutkan sekolah dan langsung bekerja di pasar. Meski demikian, kami tetap tidak kehilangan kontak. Setiap dia libur, kami jalan-jalan. Entah ke Yogya, Pasar, atau berkeliling-keliling nyari kaset drama Korea terbaru. Kami selalu berjalan kaki. Karena saudaraku itu mabok-an kalo naik mobil. Sebenernya aku juga sih. Tapi aku tak separah dia. Karena itu dia tidak pernah mau di ajak jalan-jalan naik mobil. Sebelum dia meninggal, aku pernah berencana akan mengajaknya jalan-jalan naik mobil bersama keluargaku ke Tegal Gubuk untuk membeli baju raya tahun ini. Sayangnya, hal itu sudah tak akan mungkin terjadi.
Ada hal lain yang selalu membekas di hatiku. Meskipun dia bekerja, setiap ada kesempatan, saat senja yang berwarna kelabu berubah menjadi ungu, dia datang ke rumahku. Masuk ke kamarku dan berbincang-bincang. Wah, badannya semakin terlihat besar saja. Seperti biasa aku menceritakan segala macam tentang idolaku, Super Junior. Aku juga menceritakan tentang hobbi nulisku yang kini kembali kutekuni. Dan seperti biasa juga, dia selalu meminjam buku dan majalah baru koleksiku. Ia juga suka menulis. Tapi aku belum pernah melihat tulisannya. Ia agak tertutup soal itu.
Oia, gadis ini, waktu SMP dia pernah bilang suka sama seseorang yang dia sebut sebagai Mr.S. Aku tak pernah tahu seperti apa lelaki itu. Tapi gadis penyuka cerita roman itu masih menyukainya bahkan setelah lulus sekolah. Tapi beberapa Minggu sebelum kepergiannya, dia menunjukkan bahwa ia tengah pacaran. Mungkin dengan teman kerjanya. Meski dia tak menyebutkan secara langsung, aku tahu. Bahwa ia tengah bahagia.
Sebelum tragedi itu terjadi, entah kenapa, dia yang biasanya selalu main ke rumahku untuk meminjam buku atau sekedar mengembalikkan bukuku, tak juga datang. Aku sudah ingin mengirimkan sms padanya, namun lagi-lagi aku urung melakukannya. Hingga di suatu Sabtu sore, kakaknya datang dan mengabarkan kalau dia kecelakaan. Aku kaget. Langsung saja aku di antar adikku ke rumah sakit tempatnya di rawat.
Entah kenapa rasa cemas itu tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Aku merasa pusing dan enggan untuk menahan air mata ini agar tak jatuh. Saat itu dia masih sadar dan berada di IGD. Ku dengar, motor yang ia tumpangi di tabrak angkot saat sedang turun hujan. Supir angkot itu langsung kabur. Sementara si pengendara motor yang belakangan ku ketahui adalah pacar saudaraku itu, langsung meninggal sesaat setelah di bawa ke rumah sakit.
Sungguh malang nasib gadis ini. Dia. Yang ku tahu selalu menanti kedatangan cinta. Seseorang yang percaya akan datangnya cinta sejati, dan akhirnya ketika cinta itu benar-benar datang, ia justru menjemput dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir…
Dia masih bernafas. Aku dan keluarganya masuk ke ruang IGD. Tempat yang baru pertama kali ku kunjungi. Ibu dan kakaknya langsung menangis histeris saat melihat keadaannya, sehingga mereka langsung di tarik keluar. Sementara aku hanya berdiri shock. Perlahan aku mendekati tubuhnya. Wajahnya telah di jahit dan kepalanya masih di perban. Aku melihat hasil scan dan ternyata tulang pundak kanannya remuk. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kenapa bisa semua ini terjadi padanya? Meski ia tak sadar, namun tangan kiri dan kakinya terus berontak seolah menahan sakit. Sehingga perawat terpaksa mengikat tangannya di ranjang.
Malam itu ia akan di bawa ke rumah sakit lain untuk di scan ulang. Hanya tiga orang yang boleh ikut mengantar. Dan aku tidak termasuk. Aku dan yang lainnya lalu pulang. Tak henti aku berdo’a untuknya. Aku tidak bisa tidur sehingga aku memutuskan untuk bermain laptop. Namun, saat waktu telah mendekati jam 12 malam, aku mendapatkan sms bahwa dia kritis. Aku panik. Aku langsung membangunkan orang tuaku dan meminta mereka mengantarkanku ke rumah sakit. Sungguh saat itu aku benar-benar panik dan tak tahu harus berbuat apa. Aku terus berdo’a tanpa henti.
Sesampainya di rumah sakit, semua tampak aman saja. Ternyata itu cuma kekhawatiran kakaknya saja. Aku pun kembali ke rumahku dengan perasaan sedikit lega. Saat itu, aku masih yakin dia akan sembuh meski bekas jahitan itu tak akan mungkin hilang.
Esoknya aku kembali mengunjunginya di rumah sakit. Karena hari itu Minggu, dokternya libur katanya. Huh, sumpah aku paling sebel sama rumah sakit itu. Ada usulan untuk memindahkan dia ke rumah sakit lain di Cirebon. Tapi entah kenapa tak juga di urus-urus. Dia masih tergeletak tak berdaya. Aku agak terkejut saat melihatnya. Mungkin karena ia sudah menginap di sini semalam, ia nampak pucat. Bibirnya pun nampak sedikit berbusa. Aku tak tega melihatnya. Tangan kiri dan kakinya masih saja bergerak-gerak. Sementara tangan kanannya diam tak bergeming sejak kemarin. Sekali lagi aku kembali menangis melihatnya.
Hari itu aku tak lama mejenguknya dan langsung pulang. Dalam benakku aku masih berharap ia akan sembuh. Aku selalu memegang tangannya untuk menguatkannya.
Keesokan harinya tepat jam 7 pagi, kakaknya kembali datang ke rumahku. Dia mengabarkan bahwa gadis itu kritis. Aku yang saat itu baru bangun tidur langsung sikat gigi, wudhu, kemudian membawa yasin untuk di bawa ke rumah sakit. Jantungku berdetak tak menentu.
Aku sampai di rumah sakit. Di sana, sudah ada pamannya yang sedang mengaji. Aku memandang sedih ke arah tubuhnya kemudian mengaji. Aku terus mengaji dan mengaji tanpa sadar air mataku menetes terus dan terus. Hingga sepupuku yang lainnya datang untuk menggantikanku. Karena itu ruang ICU, maka hanya satu orang yang di perbolehkan menjenguk pasien. Aku pun keluar berkumpul bersama keluarga yang lain.
Aku merenung di luar ruangan. Ya Allah, aku tidak sanggup jika ia benar-benar pergi. Aku mohon selamatkan dia… Aku bahkan masih berfikir bahwa ia akan selamat dan kami akan bisa berbincang-bincang lagi. Dan ketika waktu menunjukkan pukul 11, aku pulang. Sebelum pulang, aku mampir ke warung kopi di seberang jalan. Jika ia sadar, aku berharap kita bisa ke sini dan membeli kopi ini bersama-sama.
Entah aku lupa tepatnya jam berapa. Ku kira sekitar jam 12-an, kakaknya kembali mengabariku kalau dia kritis. Aku pun langsung berlari ke rumah sakit sambil membawa yasin lagi. Yasin yang tadi sengaja ku tinggalkan di RS. Entah kenapa, kali ini aku pasrah. Aku berdo’a, jika ini memang yang terbaik, aku ikhlas jika ia harus benar-benar pergi.
Aku sampai di ruangannya. Ada bibiku yang sedang mengaji. Dokter sudah siap dengan tabung oksigennya. Aku menangis. Aku tak mampu menjerit dan hanya menangis. Aku memegang tangannya. Air mataku terus mengalir. Dokter terus berusaha melakukan pertolongan bahkan memompa jantungnya. Aku dan kedua bibiku berdiri di sampingnya tak kuat melihat. Setelah beberapa saat, dokter bilang, bahwa ia sudah tidak ada…
Seketika itu juga badanku lemas. Bagaimana bisa ia pergi begitu cepat? Ia masih 17 tahun dan baru merasakan cinta. Ia juga belum mengembalikan buku yang terakhir dia pinjam padaku. Dan aku juga punya 2 buku baru yang belum kutunjukkan padanya. Ya! Bagaimana mungkin ini terjadi??? Aku menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Terasa begitu lembab. Hingga akhirnya saudaraku menarikku keluar. Ini adalah pertama kalinya bagiku. Menyaksikan kepergian orang secara langsung. Apa kau tahu???
Begitulah dia pergi… Saudaraku, temanku, juga sahabat terbaikku… Selamat jalan sahabat. Begitu berat rasanya kehilangan dirimu. Aku sungguh tak pernah menyangka kau akan pergi lebih dulu dariku. Padahal aku selalu mengharapkan, bahwa kau akan menjadi pendampingku ketika aku menikah nanti. Kini, pada siapa lagi aku berharap?
Tak akan ada lagi teman sepertimu. Yang selalu mengikutiku, menemani dalam sepiku, yang selalu nyamperin aku ketika hendak berangkat terawih, yang selalu ribut berdebat siapa yang lebih tampan antara Kyuhyun dan Yesung, yang selalu ribet sama urusan baju lebaran, dan tak akan ada lagi orang yang akan ku ajak makan bakso saat hari lebaran tiba. Tradisi yang sejak dulu kita jalani.
Maafkan aku, aku bukanlah sahabat yang baik. Aku berharap ia selalu di beri tempat yang tenang di sisiNya. Seperti lagu terakhir yang dia minta aku downloadkan, hidup itu memang seperti Opera Tuhan. Kita tak akan pernah tahu kapan maut menjemput. Bisa saja saat ini aku tengah mengetik, besok sudah di panggil oleh Yang Maha Kuasa. Naudzubillah mindzalik. Apa pun itu, setiap manusia di dunia ini pasti akan mati. Entah kini, atau pun nanti. Karena itu, mulai dari sekarang, jadikan diri kita lebih siap menghadap Allah SWT. Pastikan kita selalu dalam keadaan suci ketika menghadapnya.
Malam ini, aku akan mendengarkan lagu Cappuccino berjudul Biarlah Kusimpan dan Pelabuhan Rapuh. Lagu terakhir yang ia minta saat terakhir berkunjung ke rumahku. Selamat jalan, sahabat… Terima kasih atas semuanya… Ada satu hal yang ingin aku katakana padanya. Hal yang tak bisa kusampaikan saai ia masih bernyawa. Bahwa, aku menyayangimu… Dan aku bahagia kau hadir dalam hidupku. Jika dulu aku bilang aku kesal karena kau selalu mengikutiku, itu salah. Aku benar-benar senang karena kau selalu bersamaku…
Dan memang, sesuatu itu baru terasa berharga ketika kita sudah kehilangannya…