Selasa, 22 April 2014

Selamat Jalan, Sahabat...



14042014
Hari itu, aku kehilangan seorang sahabat. Satu-satunya sahabat yang selalu bersamaku sejak bertahun-tahun lalu. Dia pergi, untuk selama-lamanya. Kecelakaan naas itu telah berhasil merenggut nyawanya. Ya, dia pergi. Dan tak akan pernah kembali.
Namanya Astria Alfiani. Kami memanggilnya Astri. Dia sepupuku dan lebih muda 4 tahun dariku. Entah kenapa, meski kami berbeda usia cukup jauh, ia selalu ingin mengikutiku. Rumah kami memang tak berdekatan. Tapi juga tak terlalu berjauhan. Sewaktu masih SD, ia kerap kali mengikutiku ketika aku hendak bermain ke rumah teman. Aku bahkan merasa risih sehingga aku pergi diam-diam bahkan berlari untuk menghindarinya. Tapi dasar bocah itu keras kepala. Dia tetap saja mengikutiku.
Dulu, ketika aku masih tinggal di rumah nenekku, meskipun aku sudah SMP dan dia masih SD, dia tetap mengikutiku. Ia juga sering menginap di rumah kami. Aku juga heran, sebenarnya apa yang membuatnya selalu mengikutiku? Apa karena dia tidak punya teman? Mungkin itu benar. Jadi, ku biarkan saja dia terus mengikutiku.
Meski kita tak bertemu setiap hari karena berbeda sekolah, namun setiap akhir pekan dia selalu main ke rumahku. Kami menonton TV bersama. Dia paling senang menceritakan tentang teman-temannya di sekolah. Waktu SD, dia bahkan aktif di kegiatan Pramuka. Ya, meskipun badannya besar, pada dasarnya ia memang suka jika punya banyak teman.
Saat SMA, aku memutuskan untuk masuk Boarding School. Meski demikian, sekolah itu tak terlalu ketas seperti sekolah asrama pada umumnya. Jadi, aku masih bisa leluasa mencuri waktu pulang ke rumah setiap akhir pekan. Apalagi di sekolahku, hari Sabtu itu hari bebas alias libur. Jadi aku bisa santai pulang ke rumah karena sekolahku masih terletak satu kota dengan kampungku.
Gadis itu sudah beranjak remaja. Ia sudah SMP. Entah darimana dia tahu kalau aku selalu pulang ke rumah setiap akhir pekan, tapi dia selalu datang untuk menemani waktu liburku. Aku juga tak tahu kenapa, sejak SMP, pergaulanku dengan teman sekitar rumahku seperti terbatas. Sehingga mau tak mau aku selalu di rumah dan dia lah yang menemaniku.
Aku yang awalnya risih dengan kehadirannya mulai membuka diri. Kami berdua saling berbagi hal. Kami suka nonton FTV, aku juga cerita kalau aku suka nulis dan musik. Dan dia juga suka. Ku fikir itu karena dia terus mengikutiku, karena itu ia menyukai hal yang sama denganku. Kami juga suka membahas hal yang lagi ngetrend saat ini. Termasuk drama Korea yang saat itu tengah booming di Indonesia. Dia sangat suka drama My Princess. Dia juga suka Yoon Si Yoon dalam drama Kim Tak Gu. Dia juga suka drama Boys Before Flowers terutama sama Kim Hyun Joong. Dia juga suka Song Sam Dong aka Kim Soo Hyun di drama Dream High.
Aku yang mengenalkan semua itu padanya. Aku juga mengenalkannya pada internet. Kami sering pergi ke warnet dan dia memintaku membuatkan facebook untuknya. Dan aku membuatkannya. Aku juga mengenalkannya pada Super Junior, boyband favoritku. Saat aku bilang aku suka Kyuhyun, dia juga langsung suka Kyuhyun. Tapi saat aku bilang aku suka Donghae dan Yesung, dia tetap suka Kyuhyun. Aku bilang ganteng juga Yesung. Tapi dia bilang tetep Kyuhyun. Satu yang ku tahu, dia itu ternyata ngeyel juga.

Lulus SMP, dia tidak melanjutkan sekolah dan langsung bekerja di pasar. Meski demikian, kami tetap tidak kehilangan kontak. Setiap dia libur, kami jalan-jalan. Entah ke Yogya, Pasar, atau berkeliling-keliling nyari kaset drama Korea terbaru. Kami selalu berjalan kaki. Karena saudaraku itu mabok-an kalo naik mobil. Sebenernya aku juga sih. Tapi aku tak separah dia. Karena itu dia tidak pernah mau di ajak jalan-jalan naik mobil. Sebelum dia meninggal, aku pernah berencana akan mengajaknya jalan-jalan naik mobil bersama keluargaku ke Tegal Gubuk untuk membeli baju raya tahun ini. Sayangnya, hal itu sudah tak akan mungkin terjadi.
Ada hal lain yang selalu membekas di hatiku. Meskipun dia bekerja, setiap ada kesempatan, saat senja yang berwarna kelabu berubah menjadi ungu, dia datang ke rumahku. Masuk ke kamarku dan berbincang-bincang. Wah, badannya semakin terlihat besar saja. Seperti biasa aku menceritakan segala macam tentang idolaku, Super Junior. Aku juga menceritakan tentang hobbi nulisku yang kini kembali kutekuni. Dan seperti biasa juga, dia selalu meminjam buku dan majalah baru koleksiku. Ia juga suka menulis. Tapi aku belum pernah melihat tulisannya. Ia agak tertutup soal itu.
Oia, gadis ini, waktu SMP dia pernah bilang suka sama seseorang yang dia sebut sebagai Mr.S. Aku tak pernah tahu seperti apa lelaki itu. Tapi gadis penyuka cerita roman itu masih menyukainya bahkan setelah lulus sekolah. Tapi beberapa Minggu sebelum kepergiannya, dia menunjukkan bahwa ia tengah pacaran. Mungkin dengan teman kerjanya. Meski dia tak menyebutkan secara langsung, aku tahu. Bahwa ia tengah bahagia.
Sebelum tragedi itu terjadi, entah kenapa, dia yang biasanya selalu main ke rumahku untuk meminjam buku atau sekedar mengembalikkan bukuku, tak juga datang. Aku sudah ingin mengirimkan sms padanya, namun lagi-lagi aku urung melakukannya. Hingga di suatu Sabtu sore, kakaknya datang dan mengabarkan kalau dia kecelakaan. Aku kaget. Langsung saja aku di antar adikku ke rumah sakit tempatnya di rawat.
Entah kenapa rasa cemas itu tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhku. Aku merasa pusing dan enggan untuk menahan air mata ini agar tak jatuh. Saat itu dia masih sadar dan berada di IGD. Ku dengar, motor yang ia tumpangi di tabrak angkot saat sedang turun hujan. Supir angkot itu langsung kabur. Sementara si pengendara motor yang belakangan ku ketahui adalah pacar saudaraku itu, langsung meninggal sesaat setelah di bawa ke rumah sakit.
Sungguh malang nasib gadis ini. Dia. Yang ku tahu selalu menanti kedatangan cinta. Seseorang yang percaya akan datangnya cinta sejati, dan akhirnya ketika cinta itu benar-benar datang, ia justru menjemput dan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir…
Dia masih bernafas. Aku dan keluarganya masuk ke ruang IGD. Tempat yang baru pertama kali ku kunjungi. Ibu dan kakaknya langsung menangis histeris saat melihat keadaannya, sehingga mereka langsung di tarik keluar. Sementara aku hanya berdiri shock. Perlahan aku mendekati tubuhnya. Wajahnya telah di jahit dan kepalanya masih di perban. Aku melihat hasil scan dan ternyata tulang pundak kanannya remuk. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kenapa bisa semua ini terjadi padanya? Meski ia tak sadar, namun tangan kiri dan kakinya terus berontak seolah menahan sakit. Sehingga perawat terpaksa mengikat tangannya di ranjang.
Malam itu ia akan di bawa ke rumah sakit lain untuk di scan ulang. Hanya tiga orang yang boleh ikut mengantar. Dan aku tidak termasuk. Aku dan yang lainnya lalu pulang. Tak henti aku berdo’a untuknya. Aku tidak bisa tidur sehingga aku memutuskan untuk bermain laptop. Namun, saat waktu telah mendekati jam 12 malam, aku mendapatkan sms bahwa dia kritis. Aku panik. Aku langsung membangunkan orang tuaku dan meminta mereka mengantarkanku ke rumah sakit. Sungguh saat itu aku benar-benar panik dan tak tahu harus berbuat apa. Aku terus berdo’a tanpa henti.
Sesampainya di rumah sakit, semua tampak aman saja. Ternyata itu cuma kekhawatiran kakaknya saja. Aku pun kembali ke rumahku dengan perasaan sedikit lega. Saat itu, aku masih yakin dia akan sembuh meski bekas jahitan itu tak akan mungkin hilang.
Esoknya aku kembali mengunjunginya di rumah sakit. Karena hari itu Minggu, dokternya libur katanya. Huh, sumpah aku paling sebel sama rumah sakit itu. Ada usulan untuk memindahkan dia ke rumah sakit lain di Cirebon. Tapi entah kenapa tak juga di urus-urus. Dia masih tergeletak tak berdaya. Aku agak terkejut saat melihatnya. Mungkin karena ia sudah menginap di sini semalam, ia nampak pucat. Bibirnya pun nampak sedikit berbusa. Aku tak tega melihatnya. Tangan kiri dan kakinya masih saja bergerak-gerak. Sementara tangan kanannya diam tak bergeming sejak kemarin. Sekali lagi aku kembali menangis melihatnya.
Hari itu aku tak lama mejenguknya dan langsung pulang. Dalam benakku aku masih berharap ia akan sembuh. Aku selalu memegang tangannya untuk menguatkannya.
Keesokan harinya tepat jam 7 pagi, kakaknya kembali datang ke rumahku. Dia mengabarkan bahwa gadis itu kritis. Aku yang saat itu baru bangun tidur langsung sikat gigi, wudhu, kemudian membawa yasin untuk di bawa ke rumah sakit. Jantungku berdetak tak menentu.
Aku sampai di rumah sakit. Di sana, sudah ada pamannya yang sedang mengaji. Aku memandang sedih ke arah tubuhnya kemudian mengaji. Aku terus mengaji dan mengaji tanpa sadar air mataku menetes terus dan terus. Hingga sepupuku yang lainnya datang untuk menggantikanku. Karena itu ruang ICU, maka hanya satu orang yang di perbolehkan menjenguk pasien. Aku pun keluar berkumpul bersama keluarga yang lain.
Aku merenung di luar ruangan. Ya Allah, aku tidak sanggup jika ia benar-benar pergi. Aku mohon selamatkan dia… Aku bahkan masih berfikir bahwa ia akan selamat dan kami akan bisa berbincang-bincang lagi. Dan ketika waktu menunjukkan pukul 11, aku pulang. Sebelum pulang, aku mampir ke warung kopi di seberang jalan. Jika ia sadar, aku berharap kita bisa ke sini dan membeli kopi ini bersama-sama.
Entah aku lupa tepatnya jam berapa. Ku kira sekitar jam 12-an, kakaknya kembali mengabariku kalau dia kritis. Aku pun langsung berlari ke rumah sakit sambil membawa yasin lagi. Yasin yang tadi sengaja ku tinggalkan di RS. Entah kenapa, kali ini aku pasrah. Aku berdo’a, jika ini memang yang terbaik, aku ikhlas jika ia harus benar-benar pergi.
Aku sampai di ruangannya. Ada bibiku yang sedang mengaji. Dokter sudah siap dengan tabung oksigennya. Aku menangis. Aku tak mampu menjerit dan hanya menangis. Aku memegang tangannya. Air mataku terus mengalir. Dokter terus berusaha melakukan pertolongan bahkan memompa jantungnya. Aku dan kedua bibiku berdiri di sampingnya tak kuat melihat. Setelah beberapa saat, dokter bilang, bahwa ia sudah tidak ada…
Seketika itu juga badanku lemas. Bagaimana bisa ia pergi begitu cepat? Ia masih 17 tahun dan baru merasakan cinta. Ia juga belum mengembalikan buku yang terakhir dia pinjam padaku. Dan aku juga punya 2 buku baru yang belum kutunjukkan padanya. Ya! Bagaimana mungkin ini terjadi??? Aku menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Terasa begitu lembab. Hingga akhirnya saudaraku menarikku keluar. Ini adalah pertama kalinya bagiku. Menyaksikan kepergian orang secara langsung. Apa kau tahu???
Begitulah dia pergi… Saudaraku, temanku, juga sahabat terbaikku… Selamat jalan sahabat. Begitu berat rasanya kehilangan dirimu. Aku sungguh tak pernah menyangka kau akan pergi lebih dulu dariku. Padahal aku selalu mengharapkan, bahwa kau akan menjadi pendampingku ketika aku menikah nanti. Kini, pada siapa lagi aku berharap?
Tak akan ada lagi teman sepertimu. Yang selalu mengikutiku, menemani dalam sepiku, yang selalu nyamperin aku ketika hendak berangkat terawih, yang selalu ribut berdebat siapa yang lebih tampan antara Kyuhyun dan Yesung, yang selalu ribet sama urusan baju lebaran, dan tak akan ada lagi orang yang akan ku ajak makan bakso saat hari lebaran tiba. Tradisi yang sejak dulu kita jalani.
Maafkan aku, aku bukanlah sahabat yang baik. Aku berharap ia selalu di beri tempat yang tenang di sisiNya. Seperti lagu terakhir yang dia minta aku downloadkan, hidup itu memang seperti Opera Tuhan. Kita tak akan pernah tahu kapan maut menjemput. Bisa saja saat ini aku tengah mengetik, besok sudah di panggil oleh Yang Maha Kuasa. Naudzubillah mindzalik. Apa pun itu, setiap manusia di dunia ini pasti akan mati. Entah kini, atau pun nanti. Karena itu, mulai dari sekarang, jadikan diri kita lebih siap menghadap Allah SWT. Pastikan kita selalu dalam keadaan suci ketika menghadapnya.
Malam ini, aku akan mendengarkan lagu Cappuccino berjudul Biarlah Kusimpan dan Pelabuhan Rapuh. Lagu terakhir yang ia minta saat terakhir berkunjung ke rumahku. Selamat jalan, sahabat… Terima kasih atas semuanya… Ada satu hal yang ingin aku katakana padanya. Hal yang tak bisa kusampaikan saai ia masih bernyawa. Bahwa, aku menyayangimu… Dan aku bahagia kau hadir dalam hidupku. Jika dulu aku bilang aku kesal karena kau selalu mengikutiku, itu salah. Aku benar-benar senang karena kau selalu bersamaku…
Dan memang, sesuatu itu baru terasa berharga ketika kita sudah kehilangannya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar